Istilah qath’i bermakna pasti, tetap dan mutlak. Seluruh ulama sepakat bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang qaht’i, dalam arti kebenaran Al-Qur’an sudah pasti, tetap dan mutlak. Kebenaran yang dimaksud disini adalah kebenaran dari sisi periwayatannya, karena Al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir.
Namun selain kita mengenal istilah qath’i secara periwayatan, kita juga mengenal istilah qath’i secara penarikan kesimpulan hukum. Terkadang walaupun ayat Al-Qur’an sudah pasti shahihnya, tetapi ketika para ulama menarik kesimpulan hukumnya, terjadi perbedaan pendapat. Dan hal ini dimungkinkan, bahkan seringkali terjadi.
Sebuah dalil baik yang berupa ayat Al-Qur’an atau pun berupa hadits nabawi mungkin saja mengandung hal-hal yang bersifat qath’i (mutlak) tapi mungkin juga mengandung hal-hal yang bersifat zhanni (relatif) Masalah dalil qath’i dan dalil zhanni itu masih terbagi lagi menjadi dua dua sisi yang berlainan, yaitu masalah kesahihan (tsubut) dan masalah ketepatan penggunaannya (dilalah).
Dalil qath’i secara tsubut maksudnya adalah secara nilai keshahihan dalil tersebut yang bisa dipertanggung-jawabkan. Kalau dalil itu berupa hadits nabawi, maka yang termasuk ke dalam kategori ini adalah hadits-hadits shahih, shahih li gahrihi, hasan, hasan li ghairi. Sedangkan Al-Qur’an Al-Kariem secara tsubut tentu saja nilainya qath’i. Keshahihannya bersifat mutlak, karena diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah SAW hingga zaman sekarang ini.
baca : Menyebut Allah dengan Kata ENGKAU atau NYA
Dalil yang zhanni secara tsubut adalah lawan dari di atas, yaitu dalil yang keshahihannya kurang bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiyah. Contohnya adalah hadits dha’if. Yaitu yang perawinya banyak cacatnya, tidak ‘adil dan tidak dhabith. Hadits seperti itu disebut zhanniyuts-tsubut. Maksudnya adalah dalil yang zhanni secara tsubut.
Setelah bicara tentang masalah validitas suatu dalil, kita masih harus bicara lagi tentang ketepatan penggunaan sebuah dalil. Sejauh mana sebuah dalil yang sudah valid (shahih) itu bisa diimplementasikan di dalam sebuah masalah. Bisa jadi seseorang menggunakan dalil yang shahih, katakanlah misalnya ayat Al-Quran, namun ketika penggunaannya tidak tepat untuk sebuah kasus masalah, bukan salah ayat Quran-nya, melainkan salah dalam mengimplementasikan ayat tersebut.Para ulama menyebutnya dengan istilah dilalah.
Ada dalil Al-Quran yang secara dilalah sudah qath’i, misalnya haramnya bangkai, darah, daging babi dan lainnya. Tetapi ada juga yang secara dilalah masih zhanni. Misalnya diharamkannya musik dengan menggunakan ayat: Dan di antara manusia orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman: 6)
baca : Al-Qur’an Ada Dua Macam?
Sebagian ulama memaknai perkataan yang tidak berguna adalah lagu, nyanyian atau musik. Ini adalah dilalah yang bersifat zhanni, bukan qath’i. Artinya, bisa jadi ulama lain tidak menjadikan ayat ini sebagai dasar pengharaman musik, lagu dan nyanyian. Secara nilai validitas, semua ayat Al-Quran pasti tsubut secara qath’i, namun secara dilalah, belum tentu tepat untuk digunakan. Paling tidak ayat itu tidak secara qath’i mengharamkan musik. Masih ada perbedaan pandangan tentang haramnya musik kalau dilandaskan pada ayat tersebut.