Secara bahasa suara adalah bunyi. Menurut istilah suara adalah apa-apa yang keluar dari mulut berupa bunyi yang membentuk suatu perkataan. Islam sangat memuliakan wanita, sehingga ada beberapa syariat yang hanya dikhususkan bagi seorang wanita. Seperti halnya dalam masalah haidh, nifas, istihadhoh, aurat dan lain sebagainya. Aurat wanita pada dasarnya adalah seluruh bagian tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan menurut jumhur ulama. Walaupun dalam Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa telapak kaki bukanlah aurat. Dalam hal ini jelas sekali bahwa ulama tidak menyebutkan suara wanita sebagai aurat.
Jumhur ulama sepakat bahwa suara wanita itu bukan aurat. para sahabat Nabi mendengarkan suara para istri Nabi SAW untuk mempelajari hukum-hukum agama. Sehingga laki-laki asing yang bukan mahramnya boleh mendengar suara seorang wanita dewasa. Mendengar wanita berbicara atau bersuara, tidaklah termasuk hal yang terlarang dalam Islam, tetapi diharamkan mendengarkan suara wanita yang disuarakan dengan melagukan dan mengeraskannya, walaupun dalam membaca Al Qur’an, dengan sebab khawatir timbul fitnah.
Dalam Hasyihah Qolyusii dikatakan, ada pun suara wanita, jika si pendengarnya berlezat-lezat dengannya atau menikmatinya, atau khawatir terjadi fitnah pada dirinya, maka diharamkan mendengarkannya, jika tidak khawatir dengan fitnah maka tidak diharamkan. Para sahabat radhiyallahu’anhum mendengarkan suara wanita ketika berbincang dengan mereka (dan itu tidak mengapa).
Di antara dalil bahwa suara wanita bukan aurat adalah bahwa para istri Nabi berbicara langsung dengan para shahabat, tanpa menggunakan perantara mahram atau juga tidak dengan tulisan. Ketika ibunda mukminin Aisyah radhiyallahu’anha meriwayatkan hadist dari Rasulullah SAW, beliau tidak menuliskannya di dalam sebuah makalah atau buku, melainkan beliau berbicara langsung kepada para shahabat Rasulullah SAW
Padahal beliau termasuk perawi hadits yang sangat produktif, sehingga bisa kita bayangkan bahwa sosok beliau adalah seorang guru atau dosen agama wanita yang banyak berceramah atau memberi kuliah di depan para shahabat lainnya. Bahkan hampir semua hadits tentang fiqih wanita, didapat oleh para shahabat dari kuliah- kuliah yang disampaikan oleh Aisyah ra.
Semua ini menunjukkan bahwa tidak ada larangan dalam syariah untuk mendengar suara wanita. Sebab kalau suara wanita dikatakan sebagai aurat, seharusnya kita tidak akan pernah menemukan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah dan ummahatul mukminin lainnnya. Namun kenyataannya, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh istri-istri nabi SAW sangat banyak menghiasi kitab-kitab hadits.
Demikian juga klta ketahui bahwa Rasulullah SAW berbicara langsung juga dengan para wanita shahabiyah, juga tidak menggunakan perantaraan atau pun tulisan. Bahkan ketika Rasulullah SAW berbai’at, beliau berbicara dengan para wanita secara langsung. Tidak lewat surat atau tulisan sebagaimana yang sering kita lihat di zaman sekarang ini. Dan tentunya kita ingat bahwa Rasulullah SAW punya satu hari khusus untuk mengajarkan para wanita ilmu-ilmu agama. Dan pengajaran ini diberikan langsung oleh Rasulullah SAW tanpa perantaraan para istrinya. Beliau berbicara dan berdialog secara langsung dengan para wanita.
Lebih jauh lagi, kita pun mendapatkan riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW dan beberapa shahahat diriwayatkan pernah mendengar nyanyian yang dinyanyikan para wanita anshar. Dan beliau tidak melarang mereka dari bernyanyi. Lepas dari perbedaan para ulama dalam menetapkan hukum nyanyian. Maka dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang wanita bersuara di depan orang laki-laki, karena suara mereka bukan termasuk aurat. Dan hal ini sudah sampai kepada suara mayoritas dari nyaris hampir semua ulama. Boleh dikatakan bahwa jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa suara seorang wanita pada dasarnya bukan aurat.
Allah SWT menceritakan wanita yang mengadu kepada Nabi SAW tentang dzihar yang dilakukan suami wanita tersebut.
قَدۡ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوۡلَ ٱلَّتِى تُجَٰدِلُكَ فِى زَوۡجِهَا وَتَشۡتَكِىٓ إِلَى ٱللَّهِ وَٱللَّهُ يَسۡمَعُ تَحَاوُرَكُمَآ
Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua.
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir Ath-Thabar dalam kitabnya Jami’ al-Bayn ‘an Ta’wil Ay al- Qur’an. Menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan masalah yang dihadapi Khaulah binti Tsa’labah yang ditinggal suaminya, Aus ibn Samit.
Diriwayatkan oleh Siti Aisyah, pada suatu ketika datanglah Khaulah binti Tsa’labah yang mengadu dan mendebat kepada Rasulullah tentang sikap suaminya, Aus ibn Samit, yang tiba-tiba meninggalkannya. Khaulah menyampaikan bahwa selama menjadi istri, ia selalu melayani Aus dengan penuh kasih. Tetapi, saat usia mulai beranjak tua dan ia tak dapat melahirkan, Aus justru menziharnya. Khaulah pun mempertanyakan kepantasan zihar yang dilakukan suaminya tersebut kepada Rasul.
Dan tentu saja pengaduan Khaulah tersebut kepada Nabi mengunakan kata-kata, bukan dengan bahasa isyarat. Dan mustahil Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam akan mau mendengar suara wanita tersebut bila hal tersebut adalah aurat. Banyak hadits yang menceritakan bahwa para Shahabiyah dahulu juga bertanya kepada Rasulullah.
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ، جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ
Dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata : “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya bisa berhaji atas nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya, berhajilah untuknya, apa pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan.”(HR. Bukhari)
Para Shahabat mendatangi ummul mukminin untuk bertanya hukum agama. Dan para sahabat sendiri juga pernah pergi kepada ummahatul mukminin (para isteri Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun memberikan fatwa dan berbicara dengan orang-orang yang datang. Al Ahnaf ibn Qais berkata : “Aku telah mendengar hadits dari mulut Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Dan aku tidak pernah mendengar hadits sebagaimana aku mendengarnya dari mulut ‘Aisyah.”(HR. Al Hakim)
Musa bin Thalhah ra. berkata :
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَفْصَحَ مِنْ عَا ئِشَةَ
Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih bicaranya daripada Aisyah (HR. Tirmidzi)
Jumhur ulama memang telah sepakat bahwa suara wanita itu sendiri bukan termasuk aurat. Sehingga seorang laki-laki atau siapun boleh-boleh saja mendengar suara wanita atau berbicara dengan wanita.
Namun tentu saja bila dalam bersuara itu para wanita melakukan rayuan, atau mendesah-desahkan suaranya, apalagi bergoyang pinggul yang akan melahirkan birahi para lelaki, sampailah kepada keharamannya. Sebab itu sudah merupakan bagian dari fitnah wanita. Jadi yang mengharamkan suara wanita, karena di balik itu ada fitnah dan madharat yang hendak dijauhi.
Para ulama berselisih tentang kapan dan di mana saja suara wanita ini akan menjadi aurat. Marilah sejenak kita simak pendapat para ulama dari setiap maazhab. Ibnu Najim (w. 970 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq menuliskan
وهذا يفيد أن العورة رفع الصوت الذى لا يخلو غالبا عن النعمة لا مطلق الكلام فلما كانت القرأة لا تخلو عن ذلك قال أحب إلي فليتأمل
bahwasanya suara wanita menjadi aurat ketika (dinikmati oleh laki-laki), dan tidak termasuk aurat ketika hanya sekedar mengucapkan perkataan biasa.
Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Adz-Dzakhirah menuliskan
قال إذا ناب أحدكم في صلاته شيئ فليسبح فإن التسبيح للرجال والتصفيق للنساء فمنع من صوتها لأنها عورة
Jika salah seorang dari kalian ingin mengingatkan imam dalam shalat maka tasbih untuk laki-laki dan tepukan untuk perempuan, dan dilarang bagi perempuan mengingatkan dengan suaranya karena suara perempuan adalah aurat.
Al-Hathab Ar-Ru’aini (w. 954 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitabnya Mawahibul Jalil menuliskan
(وإن قامت المرأة سرا فحسن) يعني أن المرأة إن صلت وحدها فإن الإقامة في حقها حسنة يعن مستحبة، وليست سنة كما في حق الرجل وأما إذا صلت مع الجماعة فتكتفي بإقامتهم كما سيأتي ذلك في حق الرجال أيضا ولا يجوز أن تكون هي المقيمة للجماعة لأن صوتها عورة
Jika seorang perempuan shalat sendirian, maka iqamah boleh baginya, malah dianjurkan. Dan bukan berhukum sunnah seperti yang terjadi dikalangan laki-laki. Sedangkan jika dalam shalat berjamaah, maka cukup dg iqamah mereka (laki-laki), dan tidak boleh yang iqamah dalam jamaah seorang wanita karena suaranya adalah aurat.
Al-Kharasyi (w. 1011 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Syarhu Mukhtasor Kholil menuliskan
قوله: لأن صوتها عورة المعتمد كما أفاده الناصر اللقاني في فتاويه وشيخنا الصغير أنه لبس بعورة ونص الناصر رفع صوة المرأة التي يخشى التلذذ بسماعه لا يجوز من هذا الحيثية لا في الجنازة ولا في الأعرس سواء كان زغاريت ام لا ورؤية من يخش منها الفتنة حرام، وأما القواعد من النساء فلا يحرم سماع أصواتهن وأما مصافحة المرأة لغير المحرم فلا يجوز
perkataannya: karena suaranya (perempuan) aurat) pendapat yang kuat dalam madzhab kami seperti yang disampaikan oleh An Nasir Al laqqani dalam fatwa mereka, juga apa yang disampaikan oleh syaikh kami, bahwa suara seorang perempuan bukanlah aurat.
An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah di dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan
وبالغ القاضي حسين فقال هل صوت المرأة عورة فيه وجهان (الأصح) أنه ليس بعورة
Qadhi Husain berkata apakah suara wanita termasuk aurat? ada dua pendapat dan yang benar menurut pendapat kami bahwasanya itu bukan aurat.
Zakaria Al-Anshari (w. 926 H) yang juga ulama mazhab Asy-syafi’iyah di dalam kitabnya Asnal Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib berpendapat
ثم إن صوت المرأة ليس بعورة
Suara wanita bukan aurat.
Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi’iyah di dalam kitab Al-Minhaj Al-Qawim menuliskan
اما مشتهاة ليس معها امرأة أجرى فيحرم عليها رد سلام أجنبي ومثله ابتداؤه، ويكره له رد سلامها ومثله ابتداؤه أيضا
Sedangkan wanita yang suaranya mengundang syahwat, maka ketika ia berjalan sendiri haram baginya mengucapkan juga menjawab salam laki-laki kepada laki-laki asing. Adapun bagi laki-laki asing tersebut, makruh baginya mengucapkan juga menjawab salamnya
Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan
ولا ترفع المرأة صوتها الا بالتبلية، الا بمقدار ما تسمع رفبقتها وروى عن سليمان بن يسار أنه قال السنة عندهم أن المرأة لا ترفع صوتها بالإهلال، وإنما كره لها رفع الوت مخافة الفتنة بها، ولهذا لايسن لها أذان ولا إقامة، والمسنون لها في التنبية في الصلاة التصفيق دون التسبيح
Dan janganlah seorang wanita meninggikan suara ketika talbiyah. kecuali dengan kadar apa yang bisa didengar oleh teman disampingnya. seperti yang diriwayatkan Sulaiman bin Yasar dia berkata: sunah bagi mereka adalah janganlah seorang wanita, meninggikan suaranya dengan ihlal. Dan makruh baginya dikarenakan takutnya terjadi fitnah. dan oleh karena itu hal ini juga tidak disunahkan bagi seorang wanita dalam adzan dan iqamah. dan disunatkah baginya tasbih dan tepuk tangan hanya sebagai pengingat dalam sholat.
Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan
أنه عورة. اختاره ابن عقيل. فقال: يجب تجنب الأجانب الاستماع من صوت النساء زيادة على ما تدعو الحاجة اليه. لأن صوتها عورة. إنتهى
Menurutnya suara wanita itu aurat. pendapat ini juga dipilih oleh ibnu aqil, ia berkata: wajib bagi seorang wanita untuk menjauh dari orang lain agar suaranya tidak di dengar kecuali ada kebutuhan yang sangat mendesak, karena suara wanita itu aurat.
Ibnu Hazm (w. 456 H) salah satu tokoh mazhab Azh-Zhahiriyah di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar menuliskan
وقد كان الناس يسمعون كلام أمهات المؤمنين ولا حرج في ذلك، وقد روي عنهن وهن في حدود العشرين سنة وفويق ذلك
Dahulu para shahabat juga mendengarkan suara dari ummahat al-mukminin, dan hal itu tidaklah masalah. Banyak diriwayatkan hadits dari mereka padahal mereka masih berusia sekitar 20 tahunan atau lebih dikit