Hukum bagi orang yang pernah hafal Al-Quran, lalu karena faktor usia atau hal-hal tertentu, banyak ayat yang sudah lupa dan hilang dari hafalan. Apakah orang yang pernah menghafal Al-Quran, kemudian dia banyak lupa pada hafalannya, maka dia berdosa?
Kalau dia berdosa, berarti semua orang yang pernah menghafal Al-Quran pasti berdosa, karena yang namanya lupa itu salah satu sifat dasar manusia. Tidak ada orang di dunia ini yang tidak pernah lupa. Dan kalau lupa itu berdosa, betapa beratnya beban orang yang menghafal Al-Quran, karena selalu dibayangi ketakutan dari dosa yang siap mengancam.
Dampaknya banyak orang yang berpendapat sebaiknya tidak usah menghafal Al-Quran saja, toh nanti kalau lupa jadi dosa. Dampak lainnya lebih parah lagi, karena lupa itu dosa maka muraja’ah atau mengulang hafalan Al-Quran itu wajib dikerjakan setiap waktu. Termasuk menghalalkan baca Al-Quran meskipun dia dalam keadaan berjanabah (berhadatast besar), seperti wanita yang sedang haidh. Padahal jumhur ulama mengharamkan wanita haidh baca Al-Quran.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H) di dalam kitabnya Fathul Bari, menyebutkan pandangan beliau terhadap orang yang belajar Al-Quran lalu melupakannya.
مَا مِنْ أَحَدٍ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ ثُمَّ نَسِيَهُ إِلَّا بِذَنْبٍ أَحْدَثَهُ لِأَنَّ اللَّهَ يَقُولُ وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَنِسْيَانُ الْقُرْآنِمِنْ أَعْظَمِ الْمَصَائِبِ
Tidaklah seseorang belajar Al-Quran kemudian melupakannya kecuali dia telah menciptakan sendiri dosanya. Sesuai firman Allah SWT,”Musibah yang menimpamu dari maksiat adalah yang kamu lakukan sendiri”. Dan melupakan Al-Quran termasuk musibah yang paling besar.
Menurut Ibnu Hajar kalau orang lupa kok dihukum bersalah, padahal lupa itu sifat manusia, maka menurut beliau kasus itu sama saja dengan orang yang sedang dapat musibah. Memang tidak 100% kesalahan dia, tetapi tetap saja dianggap bersalah.
Apakah hanya semata-mata lupa karena faktor manusiawi lantas kita bisa dikategorikan telah melakukan dosa besar?
Allah SWT memang menciptakan manusia yang tidak bisa luput dari salah satu sifat dasarnya, yaitu lupa. Meskipun ada juga lupa yang disebabkan karena perbuatan syetan, namun bukan berarti manusia tidak bisa lupa.
Lupa itu ada dua macam, lupa yang pertama adalah lupa terkait tabiat dasar manusia. Lupa yang kedua memang sengaja menolak Al-Quran dan tidak memperhatikannya. Lupa jenis pertama itu tidak berdosa dan tidak dihukum.
Dan itu adalah lupa yang terkait dengan sifat manusia. Dalam kenyataannya, semua penghafal Al-Quran pasti tidak bisa terlepas dari masalah lupa. Tentu saja ketika hal itu terjadi, tidak bisa disamakan kasusnya dengan perbuatan bosa besar lainnya seperti zina, mencuri, membunuh nyawa manusia dan seterusnya. Kalau memang demikian, maka semua penghafal Al-Quran itu jatuh semua ke dalam lembah dosa-dosa besar.
Nabi SAW sebagai manusia pun juga tidak luput dari sifat lupa, karena lupa adalah salah satu fitrah manusia. Setidaknya ada dua kejadian yang bisa dijadikan dasar bahwa lupa adalah manusiawi.
Rasulullah SAW mengimami shalat dan pernah terlupa untuk meneruskan bacaan suatu ayat. Setelah shalat usai, seorang shahabat yaitu Ubay bin Ka’ab ra. mengingatkan ayat yang beliau SAW terlupa tadi. Maka Rasulullah SAW pun menjawab :
هلا كنت ذكرتنيها
Mengapa tadi tidak mau ingatkan?
Kejadian lain ada seseorang yang membaca suatu ayat dari Al-Quran dan Rasulullah SAW mendengarnya. Beliau bersabda :
يرحم الله فلاناً فقد ذكرني آية كنت أنسيتها
Semoga Allah merahmati si fulan. Dia telah mengingatkan Aku atas suatu ayat yang Aku terlupa.
Dua kejadian ini jelas sekali memberikan gambaran kepada kita, bahwa meski beliau SAW seorang nabi, namun tetap saja beliau adalah manusia biasa yang bisa lupa, termasuk lupa atas suatu ayat Al-Quran pada keadaan tertentu. Salah satu dampak negatif yang muncul apabila kita kurang cerdas memahami dosa lupa adalah adanya orang yang berpikir terbalik. Dari pada menghafal Al-Quran lalu terkena resiko berdosa lantaran bisa saja lupa, maka mendingan tidak usah menghafal saja sekalian, biar tidak ada resiko lupa dan tidak ada ancaman dosa.
Logika ini bisa saja muncul di benak kita secara begitu saja. Buat apa menghafal Al-Quran, kalau ancamannya malah jadi dosa bila terlupa? bisa jadi sangat masuk akal dan wajar bila terbersit di benak kita. Oleh karena itulah perlu juga diluruskan pemahamannya, agar tidak terbalik logikanya. Menghafal Al-Quran memang bukan kewajiban. Bahkan dalam syarat sebagai mujtahid sekalipun, kita tidak menemukan adanya syarat hafal 30 juz. Para mujtahid hanya diwajibkan menghafal ayat-ayat hukum saja.
Meski bukan syarat, tetapi rata-rata para ulama kelas paling rendah sekalipun, umumnya sudah hafal Al-Quran 30 juz sejak usia belia, sekitaran usia lima tahun sampai sepuluh tahun biasanya mereka sudah selesai menghafal 30 juz luar kepala. Bahkan menjadikannya ‘wiridan’ tiap hari. Di kebanyakan pesantren, semua santri diwajibkan untuk menghafal juz 30 saja.
Dan umumnya kita menghafalnya cuma lantaran kewajiban saja, yaitu sebagai salah satu syarat lulus sebelum boyong. Yang model begini sudah bisa dipastikan sedikit lupa atau malah banyak lupa. Apalagi kalau sudah boyong, mungkin malah lupa semua. Maka berdosa besar disini nampaknya lebih kritis dan realistis buat kita yang hidup di masa sekarang. Mau menghafal beberapa ayat saja sudah sangat bagus sekali, masak tidak jadi menghafal ayat-ayat Al-Quran cuma gara-gara ditakut-takuti terkena dosa besar lantaran lupa?