Sejak kecil, kita telah disilaukan dengan gelar-gelar yang harus diraih. Seperti dalam dunia pendidikan, para orang tua mendorong anaknya untuk terus berusaha meraih gelar akademik yang tinggi. Tujuannya bermacam-macam. Sebagian dari mereka ingin agar anaknya mudah mendapat pekerjaan. Ada lagi yang ingin anaknya punya wibawa yang bergengsi dengan gelar dibelakang namanya. Alhasil, gelar itu kini seakan menjadi hal yang wajib untuk memiliki hidup yang tak dipandang sebelah mata.
Para orang tua rela melakukan berbagai upaya agar anaknya mendapat gelar sarjana. Mulai dari s1, s2 bahkan gelar Doktoral. Bahkan mereka rela menjual barang berharganya demi gelar sang anak. Semua itu agar si anak bisa tampil dengan gelar kebanggaannya. Tapi apakah gelar-gelar itu bisa bermanfaat di Hari Kebangkitan nanti? Apa yang akan dibanggakan seseorang saat menghadap Tuhannya?
Para orang tua lupa bahwa gelar itu hanya bisa bermanfaat di dunia saja. Gelar itu cukup penting, tapi ada gelar yang lebih penting dari itu. Gelar yang bisa bermanfaat di dunia dan menjadi kebanggaan di akhirat. Gelar ini jarang dipedulikan oleh manusia. Karena mereka fokus untuk meraih gelar-gelar duniawi saja. Sementara menurut agama, gelar tertinggi seseorang adalah menjadi seorang Hamba yang sebenarnya. Jika melihat tujuan awal penciptaan, Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (Adz-Dzariyat 56)
Tujuan ini bukan berarti Allah butuh kepada ibadah manusia, namun Allah ingin memberi sesuatu yang lebih pada mereka yang mau beribadah dengan penghambaan yang sebenarnya. Dia ingin mencurahkan rahmat yang lebih luas untuk manusia.
Jangan pernah memahami ibadah dengan sebatas ritual singkat sehari-hari. Seperti solat, puasa, dzikir dan lainnya. Jika ibadah hanya diartikan sebagai ritual-ritual tersebut, begitu sedikit waktu kita untuk mencapai tujuan penciptaan Allah. Ibadah tidaklah sesempit itu. Ibadah adalah kehidupan sehari-hari yang tidak lepas dari kerelaan Allah. Bukankah mencari nafkah yang halal bagi keluarga memiliki pahala seperti seorang yang berjihad?
Jika tujuan penciptaan adalah agar manusia menghamba dan beribadah kepada Allah. Bagaimana menjadi hamba Allah yang sebenarnya?
Al-Abd (Hamba) menurut bahasa adalah manusia yang terkait dengan tuannya dan kehendaknya mengikuti kehendak tuannya. Hamba adalah seorang yang patuh dan pasrah mutlak kepada tuannya. Untuk lebih jelasnya, kita akan belajar kepada Imam Ja’far As-Shodiq tentang hakikat penghambaan yang sebenarnya.
Suatu hari Imam As-Shodiq pernah ditanya tentang hakikat penghambaan yang sebenarnya. Imam menjawab bahwa ada tiga hal yang harus dilakukan seseorang untuk mencapai tingkat penghambaan yang sesungguhnya.
Pertama, seorang hamba tidak melihat bahwa dirinya memiliki sesuatu apapun atas apa yang telah Allah berikan kepadanya. Karena sebenarnya, hamba memang tidak memiliki apapun, dia melihat hartanya sebagai harta Allah dan menggunakannya sesuai dengan perintah Allah.
Kedua, seorang hamba tidaklah mengatur dirinya sendiri. Dia meyakini bahwa hanya Allah lah yang berhak mengatur dirinya karena dia adalah milik Allah swt. Artinya, seorang hamba yang sebenarnya tidak akan menyimpang dari aturan yang telah Allah tetapkan.
Ketiga, seluruh kesibukannya adalah apa yang telah diperintahkan oleh Tuannya. Hidupnya dihabiskan untuk berkhidmat kepada Allah. Melakukan apa yang di senangi Allah dan meninggalkan apapun yang tidak diridhoi-Nya. Jika semua itu telah dilakukan, apa hasilnya?
Jika seorang hamba telah meyakini bahwa dirinya tidak memiliki apapun dihadapan Allah maka dia akan mudah berinfak sesuai perintah Allah untuk berinfak. Jika seorang hamba memasrahkan dirinya untuk mengikuti aturan Allah maka musibah di dunia akan remeh baginya. Karena semua yang terjadi telah Allah atur sedemikian rupa. Dan dia meyakini bahwa aturan Allah adalah yang terbaik baginya.
Jika seseorang telah sibuk dengan apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Maka dia tidak akan lagi sibuk membanggakan diri dan meremehkan orang lain. Dan jika Allah telah memberi kemuliaan kepada manusia dengan tiga hal ini maka dunia, iblis dan seluruh makhluk ini akan remeh dihadapannya.
Begitulah Imam Ja’far mengajari kita bagaimana menjadi hamba yang sebenarnya. Pelajaran ini juga selaras dengan analogi yang diberikan oleh Sayyid Bagir Shadr. Beliau berpendapat bahwa seorang hamba itu seperti anggota badan. Dia akan bergerak sesuai kehendak pemiliknya. Tangan kita akan bergerak sesuai keinginan kita. Kaki akan melangkah sesuai keinginan kita. Semua anggota badan selalu patuh terhadap pemiliknya. Begitulah seorang hamba pada tuannya.
Karena itu, belum sempurna iman seorang hamba jika masih ada rasa terpaksa saat melakukan perintah tuannya. Iblis dikutuk bukan hanya karena kesombongannya tidak mau sujud kepada Adam. Tapi dia juga menganggap dirinya ada dihadapan Allah. Dia merasa mempunyai pilihan dihadapan ketentuan Allah. Itulah kesombongan Iblis yang terbesar.
Semua ciptaan ini adalah hamba Allah. Tapi tidak semuanya mencapai tingkatan hamba yang sebenarnya. Kemuliaan seorang hamba tergantung pada siapa tuannya. Seorang hamba tidak akan mulia jika majikannya adalah orang biasa. Tapi, siapa yang tidak ingin menjadi budak Rasulullah saw? Seperti kisah Imam Ali bin Abi tholib ketika ada seorang yang menyebut dirinya lebih mulia dari Rasulullah, beliau langsung menolak dan dengan penuh kebanggaan beliau berkata:
Aku adalah budak dari budak-budak Muhammad SAW
Bagaimana pula jika Tuannya adalah Allah swt. Adakah gelar yang lebih tinggi dari “Hamba Allah?” Bahkan, gelar tertinggi yang dimiliki Rasulullah saw yang melebihi semua gelar kemuliaannya adalah gelar menjadi “Hamba Allah” atau Abdullah. Rasulullah saw adalah seorang hamba yang mencapai puncak tujuan penciptaan Allah. Beliau adalah hamba yang hakiki dan itulah kemuliaan terbesarnya.
Jika tujuan penciptaan Allah adalah agar manusia menghamba (beribadah) kepada-Nya, maka tidaklah semua ini diciptakan kecuali karena Rasulullah saw. Allah berfirman dalam Hadist Qudsinya:
Tanpamu Wahai Muhammad, tidak aku Ciptakan semesta ini
Semua ini beliau dapatkan karena beliau adalah manusia yang terdepan sebagai seorang hamba. Teringat kisah Rasulullah ketika makan dibawah seperti seorang budak. Salah satu sahabat menegur beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau makan seperti makannya para budak” Kemudian Rasulullah menjawab, “Maka siapakah yang lebih budak dariku?”