Dalam menjaga syariat Islam tetap asli sebagaimana mestinya, selain memerlukan validasi sumber hukum juga diperlukan otentifikasi dan verifikasi pemahaman yang benar.
Oleh sebab itu, sebagian ulama ada yang mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk memvalidasi hadits-hadits Nabi, ada juga sebagian lainnya yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk memverifikasi keotentikan pemahaman atas teks-teks syar’i yang sudah valid tersebut.
Ibnu al-Qoyim dalam kitabnya I’lam al-Muwaqi’in mengatakan, bahwa ulama dalam Islam itu ada dua, yang pertama adalah al-Huffadz, yaitu para ahli hadits yang menghafal hadits, memvalidasi dan menyampaikannya kepada umat.
Yang kedua adalah al-Fuqoha, yaitu ulama yang fokus dalam menggali hukum dari hadits-hadits atau dalil-dalil yang valid, meletakan kaidah-kaidah serta aturan dalam menggali hukum tersebut. Ditangan merekalah hukum Allah diterapkan di dunia, halal haram, boleh tidak, benar salah, menjadi tanggungjawab mereka.
Pantas saja al-‘Amasy seorang ahli hadits pernah berkata kepada imam Abu Hanifah sang faqih: “engkau adalah dokter sedangkan kami apotekernya”. Ya, dokter tau cara mendeteksi penyakit, kemudian memberi obat yang benar dengan dosis yang tepat, dan apoteker lah yang menyediakan obat tersebut.
Begitu juga imam Syafi’i pernah berkata dalam al-Umm, bahwasanya ilmu itu diperoleh dengan dua cara yaitu ittiba’ dan istinbath, maksudnya adalah untuk memperoleh ilmu yang benar maka selain merujuk kepada sumber hukum yang benar, juga harus memahaminya dengan pemahaman yang benar pula.
Bila dalam menjaga validitas sumber hukum Islam khususnya hadits-hadits Nabi adalah dengan cara memeriksa riwayat atau sanad, hadits ini dari gurunya, gurunya dari gurunya, gurunya dari sahabat dan sahabat langsung mendengar dari Rosulullah.
Maka untuk memverifikasi keotentikan suatu pemahaman adalah dengan cara berguru kemudian memiliki pemahaman dasar yang benar kemudian menguasai ilmu alat, karena para imam terdahulu pun sebelum mampu berfatwa, mereka berguru pada gurunya, gurunya berguru pada gurunya, gurunya berguru pada para sahabat, dan para sahabat berguru langsung kepada Rasulullah.
Itulah sebabnya dahulu ketika Imam Syafi’i di Mesir menulis kitab ar-Risalah, berbondong-bondong manusia datang ke Mesir untuk berguru kepada beliau mendengar penjelasan langsung kitab ar-Risalah tersebut dari mulut Imam Syafi’i.
Padahal bisa saja orang-orang ketika itu membeli atau mencetak sendiri kitab ar-Risalah kemudian membacanya di rumah.
Namun mereka tau bahwasanya ilmu itu adalah warisan Nabi yang diterima para ulama, kalau saja ilmu itu letaknya hanya di kitab, hadits Nabi yang mengatakan “Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama” menjadi tidak berlaku.