Jual-beli secara kredit ada yang halal dan ada yang haram, tergantung sejauh mana segala ketentuan dan persyaratan yang dijalankan. Al-Qaradawi dalam buku Al-Halalu wa Al-Haram fil Islam mengatakan bahwa menjual kredit dengan menaikkan harga diperkenankan. Rasulullah SAW sendiri pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo untuk nafkah keluarganya.
Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa bila si penjual itu menaikkan harga karena temponya, sebagaimana yang kini biasa dilakukan oleh para pedagang yang menjual dengan kredit, maka haram hukumnya dengan dasar bahwa tambahan harga itu berhubung masalah waktu dan itu sama dengan riba.
Tetapi jumhur (mayoritas) ulama membolehkan jual-beli kretdit ini, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Jual-beli kredit tidak bisa dipersamakan dengan riba dari segi manapun. Oleh karena itu seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, selama tidak sampai kepada batas pemerkosaan dan kezaliman.
Kalau sampai terjadi demikian, maka jelas hukumnya haram. Imam Syaukani berkata: “Ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali, dan Jumhur berpendapat boleh berdasar umumnya dalil yang menetapkan boleh. Dan inilah yang kiranya lebih tepat.”
Jual-beli secara kredit yang memenuhi segala ketentuan yang disyaratkan, hukumnya dibolehkan dalam syariat Islam. Contoh kredit yang halal misalnya dalam pembelian sepeda motor. Budi membutuhkan sepeda motor. Di showroom harganya dibanderol 12 juta rupiah. Karena Budi tidak punya uang tunai 12 juta rupiah, maka Budi meminta kepada pihak Bank untuk membelikan untuknya sepeda motor itu
Sepeda motor itu dibeli oleh Bank dengan harga 12 juta rupiah tunai dari showroom, kemudian Bank menjualnya kepada Budi dengan harga lebih tinggi, yaitu 18 juta rupiah. Kesepakatannya adalah bahwa Budi harus membayar uang muka sebesar 3 juta rupiah, dan sisanya yang 15 juta dibayar selama 15 kali tiap bulan sebesar 1 juta rupiah. Transaksi seperti ini dibolehkan dalam Islam, karena harganya tetap (fix), tidak ada bunga atas hutang.
Dan jual-beli secara kredit hukumnya menjadi haram dan terlarang apabila ada ketentuan atau persyaratan yang dilanggar. Dalam contoh di atas, kesepakatan yang haram misalnya Budi tidak membeli motor dari pihak Bank, tetapi pinjam uang sebesar 12 juta rupiah. Kewajiban Budi adalah membayar cicilan sebesar 1 juta tiap bulan sebanyak 12 kali, tapi masih dikenakan lagi bunga atas sisa hutangnya.
Misalnya pada cicilan bulan pertama, Budi membayar 1 juta rupiah. Maka sisa hutang Budi kepada Bank tinggal 11 juta. Untuk itu Budi dikenakan charge sebesar 2% dari sisa hutang, yaitu 2% x 11.000.000 = 220.000. Pada cicilan bulan kedua, Budi membayar lagi 1 juta rupiah. Maka sisa hutang Budi tinggal 10 juta. Untuk itu Budi dikenakan charge 2% x 10.000.000 = 200.000. Dan begitulah seterusnya sampai 15 bulan.
Transaksi seperti ini adalah riba, karena kedua belah pihak tidak menyepakati harga dengan pasti, tetapi harganya tergantung dengan besar bunga dan masa cicilan. Yang seperti ini jelas haram.
Dalam kasus dimana pembeli tidak mampu untuk melunasi hutangnya, sering terjadi penangguhan pelunasan dengan konsekuensi denda berupa fee. Praktek ini tidak dibenarkan dalam syariat Islam, karena sesungguhnya itulah wujud asli dari praktek riba yang diharamkan, yaitu menambahan harga atas penundaan pembayaran.
Di antara bentuk-bentuk jual-beli kredit yang diharamkan adalah pemaksaan, dimana salah satu pihak memaksakan suatu harga tanpa bisa ditolak oleh pihak lainnya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّمَا البَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Sesungguhnya jual-beli itu harus dengan keikhlasan kedua-belah pihak.
Dalam kasus tertentu terkadang jual-beli secara kredit ini seringkali dijadikan sebuah alibi untuk melakukan transaksi lain yang sesungguhnya diharamkan. Misalnya A menjual sepeda motor dengan harga 22 juta kepada B secara kredit. Sehinggat tercata bahwa B punya hutang kepada A senilai 22 juta. Lalu B menjual kembali sepeda motor itu kepada A dengan tunai seharga 15 juta. Maka A menyerahkan uang tunai kepada B uang tunai sebesar 15 juta.
Padahal yang sebenarnya terjadi, B pinjam uang 15 juta kepada A dan B harus membayar pokok hutang 15 juta itu plus bunganya sebesar 7 juta, sehingga nilai totalnya menjadi 22 juta. Akad ini adalah akad akal-akalan memanfaatkan jual-beli secara kredit. Bukti bahwa cara jual-beli akal-akalan adalah bahwa sepeda motor yang katanya diperjual-belikan itu ternyata hanya fiktif saja, tidak pernah diperjual-belikan secara sesungguhnya.
Khusus tentang adanya sebagain pendapat yang mengharamkan jual-beli kredit karena dianggap riba lantaran ada dua harga yang berbeda. Sering muncul pertanyaan, apakah boleh membedakan harga jual karena adanya penangguhan pembayaran? Bukankah hal itu sama dengan riba? Sebab pembungaan hutang itu terjadi karena penangguhan pembayaran, sehingga bunganya menjadi berlipat-lipat.
Jual-beli secara kredit ini memungkinkan pembeli untuk menangguhkan pembayaran. Dan untuk penangguhan itu dibenarkan bagi penjual untuk menjual dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang dibayar tunai. Sebenarnya, pada prinsipnya seorang penjual berhak menetapkan harga jual dari barangnya berapa pun nilainya, asalkan bukan merupakan bentuk monopoli dan juga disetujui oleh pembeli. Dan penjual juga berhak untuk menjual sebuah produk yang sama dengan harga berbeda dengan berdasarkan beberapa pertimbangan, diantaranya pembelinya berbeda
Boleh mejual barang yang sama dengan harga yang berbeda bila pembelinya yang berbeda. Misalnya, sebungkus nasi rames pakai lauk tempe dan krupuk dijual kepada mahasiswa dengan harga lima ribu rupiah. Tetapi kepada pegawai kantoran dijual dengan harga enam ribu rupiah. Begitu juga harga tiket bus kota, biasanya berbeda antara harga pelajar dengan harga untuk umum. Harga pendaftaran seminar untuk mahasiswa juga berbeda untuk umum. Harga tiket pesawat untuk anak-anak lebih murah dari pada harga untuk orang dewasa, padahal anak-anak itu tetap mendapat satu kursi seperti layaknya orang dewasa.
Penjual juga berhak menjual produk yang sama dengan harga yang berbeda di tempat yang berbeda. Misalnya, nasi rames tadi dijual lima ribu rupiah, karena tempatnya di warung tenda. Tetapi begitu masuk ke Mal, harganya jadi sepuluh ribu rupiah. Harga semangkuk bakso di warung pojok hanya 8 ribu perak dengan rasa yang enak. Sementara harga semangkuk bakso di dalam tempat wisata elite bisa naik jadi 20 ribu dengan rasa yang biasa-biasa saja.
Selain pembeli dan tempat yang berbeda. Penjual juga berhak untuk menjual sebuah produk yang sama dengan harga berbeda dengan pertimbangan jumlah barang yang berbeda. Di pasar grosir, sudah menjadi kebiasaan kalau kita beli pakaian hanya satu stel akan berbeda harganya dengan bila barang itu selusin atau sekodi. Harga tiket pesawat ke luar negeri untuk sekali jalan (one way) biasanya akan jatuh lebih mahal dari pada kita beli untuk pulang pergi (return).
Maka tidak salah juga bila harganya berubah lebih mahal bila pembayarannya ditangguhkan. Misalnya nasi rames itu dijual seharga lima ribu rupiah kalau dibayar secara tunai. Tetapi kalau membayarnya akhir bulan, maka harganya ditetapkan menjadi enam ribu rupiah.Maka yang menjadi prinsip adalah harga harus disepakati di awal, meski pun boleh jadi tidak seragam.
Apabila kedua belah pihak telah menyepakati harga atas suatu barang atau jasa, namun disepakati pembayarannya ditangguhkan, maka yang tidak boleh dilanggar adalah perubahan harga karena maju mundurnya pembayaran. Sebagai contoh sederhana, katakanlah dalam jual-beli rumah, telah ditetapkan bahwa harga rumah 100 juta bila dibayar tunai dan 150 juta bila dibayar dalam tempo 5 tahun. Maka tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila pelunasannya mengalami keterlambatan sebagaimana yang sering berlaku
Ada sebagian kalangan yang mengharamkan akad kredit ini dengan alasan bahwa akad kredit termasuk ke dalam transaksi dua akad dalam satu transaksi, atau yang lebih dikenal dengan istilah baitaini fi bai’atin. Dan hal itu diambil dari larangan Nabi SAW
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صفقتين في صفقة واحدة
Dari Abdurrahman dari Abdullah bin Mas’ud dari ayahnya ia berkata, Rasulullah SAW melarang dua akad dalam satu transaksi(HR. Ahmad)
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيعتين في بيعة
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, “Rasulullah SAW melarang dua jual beli dalam satu transaksi.” (HR. Ahmad)
Memang benar bahwa Para ulama secara umum sepakat bahwa hukum ba’iatain fi bai’ah adalah dilarang berdasarkan hadits-hadits yang sudah dijelaskan di atas yang secara eksplisit menyatakan larangan terhadap hal tersebut. Namun mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud dari istilah ba’iatain fi bai’ah itu sendiri. Setidaknya ada tujuh penafsiran istilah Ba’iatain fi Bai’ah menurut para ulama
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ba’iatain fi bai’ah adalah jual beli barang dengan dua pilihan harga, harga tunai dan harga kredit di mana harga kredit lebih mahal dari pada harga tunai. Di antara yang berpendapat demikian ialah Sammak, perawi hadits larangan ba’iatain fi bai’ah. Menurut tafsiran ini, menjual barang dengan harga kredit yang lebih mahal dari harga tunai adalah terlarang.
Tafsiran kedua ini hampir mirip dengan yang pertama hanya saja dalam penafsiran kedua ini penjual dan pembeli sama-sama tidak menentukan harga mana yang diambil, apakah harga tunai atau harga kredit kemudian keduanya berpisah begitu saja padahal akad jual beli sudah terjadi. Di antara ulama yang berpendapat dengan tafsiran kedua ini di antaranya Abu ‘Ubaid, ats-Tsauri, Ishaq, ulama malikiyyah dan hanabilah.
Yang dimaksud ba’iatain fi bai’ah menurut penafsiran ketiga adalah jual beli satu barang dengan dua harga (contoh: saya jual barang ini dengan salah satu dari dua harga: satu dinar atau seekor kambing), atau menawarkan salah satu dari dua barang dengan satu harga (contoh: saya jual seekor kambing atau sepotong pakaian dengan harga satu dinar). Hal ini dilarang karena ada ketidakjelasan harga mana atau barang mana yang akan diambil. Penafsiran ini adalah pendapat Imam Malik dan al-Baji.
Menurut Ibnu al-Qayyim yang dimaksud dengan ba’iatain fi bai’ah adalah bai’ al-‘inah, yaitu jual beli kamuflase dengan tujuan untuk mendapatkan pinjaman berbunga. Contohnya, A menjual barang kepada B seharga seratus ribu dicicil selama sebulan, dengan syarat setelah itu barang tersebut langsung dijual kembali kepada A dengan harga delapan puluh ribu secara tunai.
Imam Syafi’i juga menafsirkan makna ba’iatain fi bai’ah maksudnya adalah mensyaratkan jual beli dalam jual beli (contoh: saya jual mobil ini kepada bapak, dengan syarat bapak jual motor bapak kepada saya dengan harga sekian).
Penafsiran ini mirip dengan yang kelima, hanya saja yang disyaratkan bukan hanya jual beli saja tapi termasuk hal-hal lain seperti pemanfaatan barang (contoh: saya jual rumah ini sekarang dengan syarat saya tempati dulu rumahnya selama sebulan). Penafsiran ini adalah pendapat kalangan Al-Hanafiyyah.
Dari ketujuh penafsiran di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama menafsirkan bai’atain fi ba’iah bahwa maksudnya adalah jual beli satu barang dengan dua harga sekaligus yaitu harga tunai dan harga kredit, di mana harga kredit lebih mahal dari harga tunainya. Namun jika terjadi tawar-menawar sehingga pembeli menentukan harga mana yang dia ambil, apakah harga tunai atau harga kredit, maka tidak termasuk ke dalam kategori bai’atain fi ba’iah. Jual-beli semacam ini dilarang karena ada unsur gharar (Ketidakjelasan) dalam harga barang.